Satu hal yang paling aku rindukan setelah Liqo’, yaitu agenda
setengah 6 pagi itu.
Jam yang slalu dirindukan setiap harinya. Saat-saat dimana mengawali
hari setelah sepertiga malam dan waktu subuh. Saat-saat dimana mencari semangat
di pagi hari yang cerah. Dan saat-saat mendapat kesejukan embun pagi hari yang
diminta pada Allah setiap malamnya.
Ya, rutinitas itu baru berjalan beberapa waktu. Tapi Allah
punya rencana baru. Allah ingin ada suatu rasa kehilangan dan tahu seberapa
besar pengaruh rutinitas itu.
Ah, rindu tempat itu. Rindu akan sapaan hangatnya, senyumnya
menyambut kami, dan semangatnya membagi ilmu.
Beliau yang membuat tabir semangat yang slama ini tertutup
menjadi terbuka. Beliau yang meyakinkan lagi untuk memberi mahkota surga pada
orang tua. Beliau yang menanamkan kembali bahwa menghafal Qur’an mudah itu
bukan mitos, bisa bagi mereka yang ‘mau’.
Darisinilah mata ini kembali terbuka. Mendapatkan secercah
cahaya hati yang mungkin hilang. Dan yang terpenting, lewat perantara beliaulah
ditemukan jalan mendekat pada-Nya lagi, penyejuk mata hati.
Saat ditanya, “kapan harus kesini?” Beliau menjawab dengan
senyuman lalu berkata, “ya setiap hari. Pintu rumah ini slalu terbuka setiap
pagi. Bisa dateng kesini jam 5.15, atau kalau kepagian bisa jam setengah6.
InsyaAllah slalu ada waktu sampai jam 7 atau setengah8 pagi.”
Dan mungkin saat itu agak dikagetkan dengan jawaban beliau.
Setiap hari? Bagaimana bisa?
Tapi ternyata semuanya bisa dilakukan, tak perlu memilih
salah satu. Karena jika pintar me-manage waktu, waktu itu sangat berharga. Bisa
dapetin charge semangat ruhiyah dulu baru turun buat ambil kewajiban yang
menanti.
15 menit yang sangat berharga. Datang, setor, dapet taujih
singkat, trus pamit pulang. Tapi semua itu ada nilai tersendiri bagi hati yang
rindu akan ketenangan.
Disini bukan hanya belajar tentang Al-Qur’an, namun juga
belajar tentang kehidupan. Ada yang belum diketahui, ada juga beliau ingatkan
hal-hal yang terlupakan. Semua nasehat yang beliau berikan seakan menjadi jawaban
atas pertanyaan yang dicari dan diminta pada Allah di malam sebelum pertemuan
dengannya.
Beliau slalu berkata, “Al-Qur’an itu Kalam Allah. Membacanya
harus, memahaminya iya, mengamalkannya bagus banget. Tapi apa nggak ada pikiran
buat ngapalinnya? Salah satu cara untuk menjaga Qur’an itu dengan
menghafalkannya. Bagaimana bukti kita cinta Qur’an ya dengan menjadikannya
sahabat kita.
Setiap waktu inget Qur’an. Setiap luang slalu kangen buat
mbacanya. Bahkan saat sibuk pun yang terbayang ayat-ayat Qur’an. Obat hati itu
salah satunya Qur’an. Dengan semangat ngafal, semakin deket sama Al-Qur’an.
Mungkin bisa hanya dengan membaca, tapi apa dengan baca aja bisa disebut deket
sama Qur’an?
Setiap kebaikan biasanya diawali dengan paksaan. Paksa diri
buat ngafal setiap hari, tepatin target hafalannya, insyaAllah lama-kelamaan
sesuatu yang terpaksa itu menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi kebutuhan yang
nggak bisa lepas dari hari-hari kita.
Allah liat dari kemauan hamba-Nya. Kalau memang membaca
Qur’an, itu memang kewajibannya. Tapi kalau udah ada niatan buat menghafalnya
dan menjaganya itu akan Allah nilai berlipat-lipat dari mereka yang sekedar
rajin baca. Karena kalo usahanya besar insyaAllah akan dapet hasil yang besar
pula.
Tahu kan cerita perang Uhud yang korbannya 70 lebih syuhada
penghafal Qur’an? Allah muliakan mereka. Usulan Umar bin Khattab tentang
membukukan Al-Qur’an, tujuannya untuk menjaga Al-Qur’an agar tak hilang. Dan
saat ini, banyak non-muslim yang tugasnya memperbanyak mushaf Qur’an. Kalau
bukan kita, ummat islam, yang menjaga Al-Qur’an pada keasliannya, siapa lagi?
Maka dari itu, semakin banyak mereka yang semangat menghafal Qur’an, insyaAllah
semakin terjaga keaslian kata-kata Qur’an itu.”
“Dan perlu diingat, menghafal Qur’an itu perkara yang mudah
sebenarnya, yang sulit adalah menjaganya. Karena ilmu itu cahaya. Dan cahaya
takkan diberikan pada sembarang orang. Hanya mereka yang terpilih yang dapat
menjaganya.”
Biasanya kita ngeluh, “ah, hafalannya udah lupa.” Padahal
sebenarnya ayat-ayat itu yang menjauh dari penjaganya karena maksiat yang
diperbuatnya. MasyaAllah, ini adalah amanah, menjaganya adalah amanah dari
Allah.
Hmm.. kadang terlintas pikiran. Kalau begitu mereka yang
hafal Qur’an 30 juz itu orang-orang yang luar biasa banget ya (catet: bukan
cuma hafal sekali aja pas lagi setoran, tapi slalu terjaga). Karena berarti
mereka slalu ngulang-ngulang hafalannya di setiap sholatnya. Mereka tentunya
rajin shalat malam karena mungkin shalat 5 waktu nggak cukup buat muroja’ahnya.
Mereka tentunya juga rajin muroja’ah di setiap waktunya. Subhanallah.. berapa
juz yang mereka habiskan setiap harinya? Dan mereka tentu perkataannya slalu
bermanfaat, ga ada yang sia-sia. Karena pasti yang ada di pikiran mereka,’mending
mengulang hafalan daripada ngomong yang ga ada gunanya’. Dan yang pasti, perbuatan
maksiat slalu terhindar dari mereka, karena skali berpikir untuk berbuat,
beribu kali teringat akan hafalannya.
Rabbi… ingin sekali terdaftar pada barisan mereka..
Memang benar apa yang pernah dikatakan seseorang, ‘sekali
saja nggak nambah hafalan, itu satu tanda bahwa hafalan sebelumnya ada yang
hilang’. Dan yang membolak balik hati hanya Allah Ta’ala.
Terakhir kali, pesan beliau yang slalu teringat,
“Ngafal..ngafal..ngafal.. dan jangan lupa minta do’a slalu pada setiap yang
ditemui. Biarkan mereka berkata apa. Yang pasti, sekali kamu minta dapet 2
sekaligus, yang pertama dapet do’a walaupun cuma kata ‘aamiin’ aja, yang kedua
kamu slalu diingatkan dari ucapanmu sendiri. Karena mulut kita lebih deket
dengan telinga kita sendiri daripada orang yang kita ajak bicara.”