-21 Juni 2013-
Halaqoh, pertemuan yang sangat dirindukan. Disini saya
pengen cerita tentang indahnya lingkaran cinta ini.
“Halaqoh di daerah
jauh beda dengan yang ada di kampus, mbak. Jadi jangan kapok ya. Pertama
mungkin kaget, tapi seiring berjalan insyaAllah bisa menyesuaikan.”
Hei… iya itu dia yang saya rasain pertama kali menghadiri
halaqoh yang bukan di lingkungan kampus. Mungkin kaget, ya banget-banget.
Karena mungkin jika di kampus paling ekstrimnya sekelompok sama mbak-mbak
seniornya, atau sama adik tingkatnya. Itupun hanya melihat yang lain, karena
berkali-kali ya masih pada angkatan yang sama.
Tapi jika di kampus, sesuatu itu sudah menjadi hal yang
besar (ini dalam pandangan anak yang awam ya, hehe). Tapi ternyata di luar
kampus, hal itu menjadi hal yang biasa. Ya, ketika seseorang keluar dari zona
nyaman (kampus termasuk di dalamnya), terkadang hal seperti yang saya alami ini
menjadi sesuatu yang menggoyahkan.
Pertama kali menghadiri pertemuan itu, saya berangkat dengan
salah seorang di anggota halaqoh, janjian di sebuah TKIT. Dan setelah
berkenalan ternyata mbaknya kalo di kampus seumuran dengan angkatan 2008. Ya,
pikir saya mungkin banyak yang masih seumuran dengannya karena daerah ini
mahasiswinya pun banyak.
Sampai pada tempat halaqoh, berdatanganlah anggota lingkaran
ini satu per satu. Dan tak dinyana tak disangka. Saat perkenalan, di dalam
kelompok itu ada seorang teman dari bulik saya. Beliau berkata, “Dulu saya
pernah main ke tempat buliknya mbak, bulik mb teman kami dulu (sambil menunjuk rekan
di sampingnya). Trus ibunya mbak dulu guru saya, sekarang jadi rekan kerja di
MTs. Eh, nggak taunya mbak jadi teman di halaqoh saya. Dunia memang sempit.”
Kata beliau sambil tersenyum.
Ya Allah… Subhanallah.. Memang rencana-Mu tak pernah dapat
dijangkau dengan akal. Engkau eratkan kembali tali silaturahim itu. Makanya
sepertinya saya mengenal wajah-wajah di hadapan saya. Tapi siapa? Saya pun
masih berpikir kapan dan dimana ketemunya. Ternyata saat itu memang saya masih
kecil, SD atau SMP mungkin, hehe.
Disana juga ada ustadzah TKIT, SDIT yang dulu pernah jadi
pembimbing adik saya yang hampir lulus ini. Walaupun ini hanya sementara
(karena nantinya akan balik lagi ke kampus), tapi semuanya jadi pelajaran
berharga. Ada nasihat tersirat bahwa jangan pernah berangan-angan akan selalu
berada pada ‘zona nyaman’.
Tapi yang nyenengin, setiap Liqo disini pasti ketemu sama
adek-adek kecil yang lucu-lucu banget! :D Walaupun beda jauh dengan suasana
lingkaran dikampus sana yang bisa dibilang masih unyu-unyu banget, ketemunya
sama temen seorganisasi mungkin, bahasannya seputar kampus, wisma, dan wajihah.
Maka disini saya temukan hal baru yang lebih mengarah pada dakwah secara
keseluruhan.
Sehari setelah pertemuan pertama itu pun saya kembali
dihadapkan pada kenyataan. Ada seseorang yang berpesan,”sesuk mbak, ojo lali bali deso mbangun deso”. Ya, mengingat banyak
‘penurunan’ yang terjadi disini karena hampir semua pemuda-pemudinya pada
merantau ke kota lain. Selalu miris jika membandingkan suasana sekarang dengan
saat masih kecil. Kalau pengen memutar waktu tak mungkin, yang ada harus
memperbaikinya.
Darisini saya tarik kesimpulan bahwa Allah memberi saya
istirahat (yang sebenarnya tidak saya inginkan) ini, salah satunya menyadarkan
saya bahwa kedepan jangan pernah berharap akan terus bertahan di zona nyaman,
karena lambat laun pasti akan keluar dari itu semua. Jangan pernah meninggalkan
kampung halaman karena disanalah ladang amal yang harus digarap.
Kalau kata orang, “buat apa cari ilmu jauh-jauh, dapet
pendidikan yang baik & layak, tapi tidak menularkan kebaikannya pada
kampung halamannya.”
Saya sering dapet wejangan ini disadari atau tidak, “Besok kalau sudah sukses, jangan lupakan
daerah yang sudah mendidikmu waktu kecil. Bangun daerah itu, karena itu
kewajibanmu. Jangan terlena dengan suasana nyaman di daerah rantaumu itu karena
disana memang sudah banyak orang-orang pinter.” Kata beliau-beliau dengan
logat & bahasa jawanya.
Sungguh sangat berarti pelajaran ini, Rabbi… Memang benar,
siapapun itu harus ada yang memperbaikinya. Kalau bukan saya mungkin akan
digarap oleh orang lain. Tapi yang terpenting pesan itu sudah disampaikan,
tinggal bagaimana sang empu menanggapinya.
Dan itulah proses kaderisasi. Jika hanya berputar pada
mereka yang ‘mengerti’ saja, maka semua itu ya sama saja. Memang jika telah
tumbuh benih-benih baru, harus disebar ke tempat lain yang membutuhkan
kerindangannya. Disebar sesuai dengan porsi dan kebutuhan..
Sekian, 1 pertemuan yang banyak cerita, yang bakal ada
cerita-cerita lain yang lebih bisa diambil pelajarannya lagi. Bismillah..
Allah… Engkau Maha Penyayang, selalu ada kejutan dan kejutan… :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar