Pengen berbagi tentang idola saya yang satu ini :)
Hudzaifah Ibnul Yaman..
Sumber: http://abuzaidalhawaary.wordpress.com/page/2/
Sahabat Rasulullah SAW yang kita bicarakan kali ini adalah Hudzaifah
Ibnul Yaman. Hudzaifah Ibnu Yaman, intelejen Rasulullah yang juga
digelari “Shahibu Sirri Rasulullah” (Pemegang rahasia Rasulullah) ini
menjadi sahabat ke-13 yang dikaji sirah-nya dalam Sirah Sahabat blog Bersama Dakwah. Selamat membaca.
***“Jika engkau ingin digolongkan kepada Muhajirin, engkau memang
Muhajir. Dan jika ingin digolongkan kepada Anshar, engkau memang seorang
Anshar. Pilihlah mana yang engkau sukai.”Itulah kalimat yang diucapkan
Rasulullah SAW kepada Hudzaifah Ibnul Yaman, ketika dia pertama kali
bertemu muka dengan beliau di Makkah. Mengenai pilihan itu, apakah dia
tergolong Muhajirin atau Anshar, yaitu dua golongan yang dicintai kaum
muslimin, mempunyai kisah tersendiri bagi Hudzaifah.
Al-Yaman, ayah Hudzaifah, adalah orang Makkah dari Bani Abbas. Oleh
karena suatu hutang darah dalam kaumnya, dia terpaksa menyingkir dari
Makkah ke Yatsrib (Madinah). Di sana dia minta perlindungan pada Bani
Abd Asyhal dan bersumpah setia pada mereka untuk menjadi keluarga dalam
persukuan Bani Abd Asyhal. Kemudian dia menikah dengan anak perempuan
suku Asyhal. Dari perkawinannya itu lahirlah anaknya, Hudzaifah. Maka
hilanglah halangan yang menghambat Al-Yaman untuk memasuki kota Makkah.
Sejak saat itu dia bebas pulang pergi antara Makkah dan Madinah. Namun
begitu, dia lebih banyak tinggal dan menetap di Makkah.
Ketika Islam memancarkan cahayanya ke seluruh jazirah Arab, Al-Yaman
termasuk salah seorang dari sepuluh orang Bani Abbas untuk menemui
Rasulullah SAW dan menyatakan Islam di hadapan beliau. Segala peristiwa
yang kita sebutkan itu terjadi sebelum hijrah Rasulullah ke Madinah.
Sesuai dengan garis keturunan yang berlaku di negeri Arab, yaitu menurut
garis keturunan bapak (patriarchal), maka Hudzaifah adalah orang Makkah
yang lahir dan dibesarkan di Madinah.
Hudzaifah ibnul Yaman lahir di rumah tangga muslim, dipelihara dan
dibesarkan dalam pangkuan kedua ibu bapaknya yang telah memeluk agama
Allah, sebagai rombongan pertama. Karena itu Hudzaifah telah Islam
sebelum dia bertemu muka dengan Rasulullah SAW.
Kemudian Hudzaifah hendak bertemu dengan Rasulullah SAW memenuhi
setiap rongga hatinya. Sejak masuk Islam, dia senantiasa menunggu-nunggu
berita, dan nyinyir bertanya tentang kepribadian dan ciri-ciri beliau.
Bila hal itu dijelaskan orang kepadanya, makin bertambah cinta dan
kerinduannya kepada Rasulullah.
Pada suatu hari dia berangkat ke Makkah sengaja hendak menemui
Rasulullah. Setelah bertemu, Hudzaifah bertanya kepada beliau, “Apakah
saya ini seorang muhajir atau Anshar, ya Rasulullah?”
Jawab Rasulullah, “Jika engkau ingin disebut muhajir, engkau memang
seorang muhajir; dan jika engkau ingin disebut Anshar, engkau memang
orang Anshar. Pilihlah mana yang engkau sukai.”
Jawab Hudzaifah, “Aku memilih Anshar, ya Rasulullah!.”
Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, Hudzaifah selalu mendampingi
beliau bagaikan seorang kekasih. Hudzaifah turut bersama-sama dalam
setiap peperangan yang dipimpinnya, kecuali dalam perang Badar. Mengapa
dia tidak turut dalam perang Badar? Soal ini pernah diceritakan oleh
Hudzaifah.
Katanya: Yang menghalangiku untuk turut berperang dalam peperangan
Badar karena ketika itu aku dan bapakku sedang pergi ke luar kota
Madinah. Dalam perjalanan pulang, kami ditangkap oleh kaum kafir
Quraisy. Tanya mereka, “Hendak ke mana kalian?”
Jawab kami, “Ke Madinah!”
Tanya mereka, “Kalian hendak menemui Muhammad?”
Jawab kami, “Kami hendak pulang ke rumah kami, di Madinah!”
Mereka tidak bersedia membebaskan kami kecuali dengan perjanjian
bahwa kami tidak akan membantu Muhammad, dan tidak akan memerangi
mereka. Sesudah itu barulah kami dibebaskannya.
Setelah bertemu dengan Rasulullah, kami ceritakan kepada beliau
peristiwa tertangkapnya kami oleh kaum kafir Quraisy dan perjanjian
dengan mereka. Lalu kami tanyakan kepada beliau, apa yang harus kami
lakukan.
Jawab Rasulullah, “Batalkan perjanjian itu, dan mari kita mohon pertolongan Allah untuk mengalahkan mereka!”
Dalam peperangan Uhud, Hudzaifah turut memerangi kaum kafir
bersama-sama dengan ayahnya, Al-Yaman. Dalam peperangan itu Hudzaifah
mendapat cobaan besar. Dia pulang dengan selamat, tetapi bapaknya tewas
di Uhud, menjadi syahid. Bapaknya syahid oleh pedang kaum muslimin
sendiri, bukan oleh kaum musyrikin.
Ceritanya, pada hari terjadinya perang Uhud, Rasulullah SAW
menugaskan Al-Yaman (ayah Hudzaifah) dan Tsabit bin Waqsy mengawal
benteng tempat para wanita dan anak-anak, karena keduanya sudah lanjut
usia. Ketika perang memuncak dan berkecamuk dengan sengit, Al-Yaman
berkata kepada temannya,
“Bagaimana pendapatmu; apalagi yang harus kita
tunggu. Umur kita hanya tinggal selama menunggu keledai puas minum. Kita
mungkin saja mati hari ini atau besok. Apakah tidak lebih baik kita
ambil pedang lalu menyerbu ke tengah-tengah musuh membantu Rasulullah.
Mudah-mudahan Allah SWT memberi kita rezeki menjadi syuhada bersama-sama
dengan Nabi-Nya.” Lalu keduanya mengambil pedang mereka, dan terjun ke
arena pertempuran.
Tsabit bin Waqsy memperoleh kemuliaan di sisi Allah. Dia syahid di
tangan kaum musyrikin. Tetapi Al-Yaman bapak Hudzaifah menjadi sasaran
pedang kaum muslimin sendiri, karena mereka tidak mengenalnya. Hudzaifah
berteriak, “Itu bapakku…! Itu bapakku…!”
Tetapi sayang, tidak seorang pun yang mendengar teriakannya.,
sehingga bapaknya jatuh tersungkur oleh teman-temannya sendiri.
Hudzaifah tidak berkata apa-apa, kecuali hanya berdoa, “Semoga Allah SWT
mengampuni kalian; Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
Rasulullah SAW memutuskan untuk membayar tebusan darah (diyat) bapak
Hudzaifah kepada anaknya, Hudzaifah. Kata Hudzaifah, “Bapakku
menginginkan supaya dia mati syahid. Keinginannya itu kini telah
dicapainya. Wahai Allah! Saksikanlah, sesungguhnya aku menyedekahkan
diyat darah bapakku kepada kaum muslimin.”
Maka dengan pernyataannya itu, penghargaan Rasulullah terhadap Hudzaifah bertambah tinggi dan mendalam.
Rasulullah SAW menilai, dalam pribadi Hudzaifah ibnul Yaman terdapat
tiga keistimewaan yang menonjol: pertama, cerdas tiada bandingan,
sehingga dia dapat meloloskan diri dalam situasi yang serba sulit.
Kedua, cepat tanggap, berpikir cepat, tepat dan jitu, yang dapat
dilakukannya setiap diperlukan. Ketiga, cermat, memegang rahasia, dan
berdisiplin tinggi; sehingga tak seorang pun dapat mengorek yang
dirahasiakannya.
Sudah menjadi salat satu kebijaksanaan Rasulullah, berusaha
menyingkap keistimewaan para shahabatnya, dan menyalurkannya sesuai
dengan bekat dan kesanggupan yang terpendam dalam pribadi masing-masing
mereka. Yakni menempatkan seseorang pada tempat yang selaras.
Kesulitan terbesar yang dihadapi kaum muslimin di Madinah adalah
keahdiran kaum Yahudi munafik dan sekutu mereka, yang selalu membuat
isu-isu dan muslihat jahat, yang dilancarkan mereka terhadap Rasulullah
dan para sahabat. Maka dalam menghadapi kesulitan itu, Rasulullah
mempercayakan suatu yang sangat rahasia kepada Hudzaifah ibnul Yaman,
dengan memberikan daftar nama orang munafik itu kepadanya. Itulah suatu
rahasia yang tidak pernah bocor kepada siapa pun hingga sekarang, baik
kepada para sahabat yang lain atau kepada siapa saja. Dengan
mempercayakan hal yang sangat rahasia itu, Rasulullah menugaskan
Hudzaifah memonitor setiap gerak-gerik dan kegiatan mereka, untuk
mencegah bahaya yang mungkin dilontarkan mereka terhadap Islam dan kaum
muslimin. Dan karena itu, Hudzaifah ibnul Yaman digelari oleh para
sahabat dengan “Shahibu Sirri Rasulullah” (Pemegang rahasia Rasulullah).
Pada suatu ketika, Rasulullah memerintahkan Hudzaifah melaksanakan
suatu tugas yang amat berbahaya, dan membutuhkan keterampilan luar biasa
untuk mengatasinya. Karena itulah beliau memilih orang yang cerdas,
tanggap dan berdisiplin itnggi. Peristiwa itu terjadi pada puncak
peperangan Khandaq. Kaum muslimin telah lama dikepung rapat oleh musuh,
sehingga mereka merasakan ujian yang berat, menahan penderitaan yang
hampir tak tertanggungkan, serta kesulitan-kesulitan yang tak teratasi.
Semakin hari situasi semakin gawat, sehingga menggoyahkan hati yang
lemah. Bahkan menjadikan sementara kaum muslimin berprasangka yang tidak
wajar terhadap Allah SWT.
Namun begitu, pada saat kaum muslimin mengalami ujian berat dan
menetukan itu, kaum Quraisy dan sekutunya yang terdiri dari orang-orang
musyrik, tidak lebih baik keadaannya dari pada yang dialami kaum
muslimin. Karena murka-Nya, maka Allah Azza wa Jalla menimpakan bencana
kepada mereka dan melemahkan kekuatannya. Allah meniupkan angin topan
yang amat dahsyat, sehingga menerbangkan kemah-kemah mereka, membalikkan
periuk, kauli dan belanga, memadamkan api, menyiram muka mereka dengan
pasir dan menutup mata dan hidung mereka dengan tanah.
Pada situasi genting dalam sejarah setiap peperangan, pihak yang
kalah ialah yang lebih dahulu mengeluh dan pihak yang menang ialah yang
dapat bertahan menguasai diri melebihi lawannya. Maka dalam detik-detik
seperti itu, amat diperlukan informasi secepatnya mengenai kondisi
musuh, untuk menetapkan penilaian dan landasan dalam mengambil keputusan
melalui musyawarah.
Ketika itulah Rasulullah membutuhkan keterampilan Hudzaifah ibnul
Yaman, untuk mendapatkan info-info yang tepat dan pasti. Maka beliau
memutuskan untuk mengirim Hudzaifah ke jantung pertahanan musuh, dalam
kegelapan malam yang hitam pekat. Marilah kita dengarkan bagaimana dia
melaksanakan tugas maut tersebut.
Kata Hudzaifah: Malam itu kami (tentara muslimin) duduk berbaris, Abu
Sufyan dengan dua baris pasukannya kaum musyrikin. Makkah mengepung
kami sebelah atas. Orang-orang Yahudi Bani Quraizhah berada di sebelah
bawah. Yang kami khawatirkan ialah serangan mereka terhadap para wanita
dan anak-anak kami. Malam sangat gelap. Belum pernah kami alami gelap
malam yang sepekat itu, sehingga tidak dapat melihat anak jari kami
sendiri. Angin bertiup sangat kencang sehingga desirannya menimbulkan
suara bising yang memekakkan. Orang-orang lemah iman, dan orang-orang
munafik minta izin untuk pulang kepada Rasulullah dengan alasan rumah
mereka tidak terkunci. Padahal sebenarnya rumah mereka terkunci.
Setiap orang yang minta izin pulang, diberi izin oleh Rasulullah,
tidak ada yang dilarang atau ditahan beliau. Smeuanya keluar dengan
sembunyi-sembunyi, sehingga kami yang tetap bertahan, hanya tinggal 300
orang.
Rasulullah berdiri dan berjalan memeriksa kami satu per satu. Setelah
beliau sampai ke dekatku, aku meringkuk kedinginan. Tidak ada yang
melindungi tubuhku dari udara dingin yang menusukku, selain sehelai
sarung butut kepunyaan istriku, yang hanya dapat menutupi hingga lutut.
Beliau mendekatiku yang sedang menggigil, seraya bertanya, “Siapa ini?”
“Hudzaifah.” Jawabku.
“Hudzaifah!” Tanya Rasulullah minta kepastian. Aku merapat ke tanah sulit berdiri karena lapar dan dingin.
“Betul, ya Rasulullah!” jawabku.
“Ada beberapa peristiwa yang dialami musuh; pergilah engkau ke sana
dengan sembunyi-sembunyi untuk mendapatkan data-data yang pasti, dan
laporkan kepadaku segera!” kata beliau memerintah.
Aku bangun dengan ketakutan dan kedinginan yang sangat menusuk. Maka
Rasulullah berdoa, “Wahai Allah, lindungilah dia, dari depan, dari
belakang, kanan, kiri, atas, dan dari bawah.”
Demi Allah! Sesudah Rasulullah selesai berdoa, ketakutan yang
menghantui dalam dadaku, dan kedinginan yang menusuk-nusuk tubuhku
hilang seketika, sehingga aku merasa segar dan perkasa. Tatkala aku
memalingkan diriku dari Rasulullah, beliau memanggilku dan berkata,
“Hai, Hudzaifah! Sekali-kali jangan melakukan tindakan yang mencurigakan
mereka sampai tugasmu selesai, dan kembali melapir kepadaku!”
Jawabku, “Saya siap, ya Rasulullah!”
Lalu aku pergi dengan sembunyi-sembunyi dan hati-hati sekali, dalam
kegelapan malam yang hitam kelam. Aku berhasil menysuup ke jantung
pertahanan musuh dengan berlagak seolah-olah aku anggota pasukan mereka.
Belum lama aku berada di tengah-tengah mereka, tiba-tiba terdengar Abu
Sufyan memberi komando.
Katanya, “hai pasukan Quraisy! Dengarkan aku berbicara kepada kamu
sekalian. Aku sangat khawatir, hendaknya pembicaraanku ini jangan sampai
terdengar oleh Muhammad. Karena itu telitilah lebih dahulu setiap orang
yang berada di samping kalian masing-masing!”
Mendengar ucapan Abu Sufyan itu, aku segera memegang tangan yang di sampingku seraya bertanya, “Siapa kamu?”
Jawabnya, “Aku di anu, anak si anu!”
Sesudah dirasanya aman, Abu Sufyan melanjutkan bicaranya, “Hai
pasukan Quraisy! Demi Tuhan! Sesungguhnya kita tidak dapat bertahan di
sini lebih lama lagi. Hewan-hewan kita telah banyak yang mati. Bani
Quraizhan berkhianat meninggalkan kita. Angin topan menyerang kita
dengan ganas seperti kalian rasakan. Karena itu berangkatlah kalian
sekarang dan tinggalkan tempat ini. Sesungguhnya aku sendiri akan
berangkat.”
Selesai berkata begitu, Abu Sufyan langsung mendekati untanya,
dilepaskannya tali penambat, lalu dinaiki dan dipukulnya. Unta itu
bangun dan Abu Sufyan langsung berangkat. Seandainya Rasulullah tidak
melarangku melakukan suatu tindakan di luar perintah sebelum datang
melapor kepada beliau, sungguh telah kubunuh Abu Sufyan dengan pedangku.
Aku kembali ke pos komando menemui Rasulullah. Kudapati beliau sedang
shalat di tikar kulit, milik salah seorang istrinya. Tatkala beliau
melihatku, didekatkannya kakinya kepadaku dan diulurkannya ujung tikar
menyuruhku duduk di dekatnya. Lalu kulaporkan kepada beliau segala
kejadian yang kulihat dan kudengar. Beliau sangat senang dan bersuka
hati, serta mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT.
Hudzaifah ibnul Yaman sangat cermat dan teguh memegang segala rahasia
mengenai orang-orang munafik selama hidupnya. Sehingga kepada para
khalifah sekalipun, yang mencoba mengorek rahasia tersebut tidak pernah
bocor olehnya. Sampai-sampai khalifah Umar bin Khattab r.a. apabila ada
orang muslim yang meninggal, dia bertanya, “Apakah Hudzaifah turut
menyalatkan jenazah orang itu?” Jika mereka jawab ada, beliau turut
menyalatkannya. Bila mereka menjawab tidak, beliau enggan
menyalatkannya.
Pada suatu ketika khalifah Umar pernah bertanya kepada Hudzaifah
dengan cerdki, “Adakah diantara pegawai-pegawaiku orang munafik?”
Jawab Hudzaifah, “Ada seorang!”
Kata Umar, “Tolong tunjukkan kepadaku, siapa?”
Jawab Hudzaifah, “Maaf Khalifah, saya dilarang Rasulullah mengatakannya.”
“Seandainya aku tunjukkan, tentu khalifah akan langsung memecat pegawai yang bersangkutan,” kata Hudzaifah bercerita.
Namun begitu, amat sedikit orang yang mengetahu Hudzaifah ibnul Yaman
sesungguhnya adalah pahlawan penakluk Hamadzan dan Rai. Dia membebaskan
kota-kota tersebut bagi kaum muslimin dari genggaman kekuatan Persia
yang menuhankan berhala. Hudzaifah juga termasuk tokoh yang memprakarsai
keseragaman mushaf Al-Qur’an, sesudah Kitabullah itu beraneka ragam
coraknya di tangan kaum muslimin. Dan Hudzaifah, hamba Allah yang sangat
takut kepada Allah, dia juga takut melanggar perintah dan larangan
Allah, dan sangat takut akan sika-Nya.
Ketika Hudzaifah sakit keras menjelang ajalnya tiba, beberapa orang sahabat datang mengunjunginya tengah malam.
Hudzaifah bertanya kepada mereka, “Jam berapa sekarang?”
Jawab mereka, “Sudah dekat Subuh.”
Kata Hudzaifah, “Aku berlindung kepada Allah dari Subuh yang menyebabkan aku masuk neraka.”
Kemudian dia bertanya, “Adakah tuan-tuan membawa kafan?”
Jawab mereka, “Ada!” Kata Hudzaifah, “Tidak perlu kafan yang mahal. Jika diriku baik dalam
penilaian Allah, Dia akan menggantinya untukku dengan kafan yang lebih
baik. Dan jika tidak baik dalam pandangan Allah Dia akan menanggalkan
kafan itu dari tubuhku.”
Sesudah itu dia berdoa, “Wahai Allah. Sesungguhnya Engkau tahu, bahwa
aku lebih suka fakir dari pada kaya, aku lebih suka sederhana dari pada
mewah, dan aku lebih suka mati dari pada hidup.”
Sesudah berdoa begitu ruhnya berangkat. Seorang kekasih Allah kembali
kepada Allah dalam kerinduan. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya
kepada Hudzaifah Ibnul Yaman.
[sumber: Kepahlawanan Generasi Shahabat Rasulullah SAW]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar